Dalam praktek, surat bukti dalam Peninjauan Kembali (PK) disebut sebagai novum berdasarkan dari beberapa contoh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara perdata, yaitu Putusan Nomor 268 PK/Pdt/2007, Putusan Nomor 324 PK/Pdt/2020 dan Putusan Nomor 893 PK/Pdt/2020, bahwa Majelis Hakim menyebutkan surat bukti dalam Peninjauan
- Bahwa menurut M. Yahya Harahap, SH. dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, Edisi Kedua, 2012, halaman 617, antara lain menyatakan bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan Peninjauan kembali bukan merupakan “hak substitusi” yang diperoleh setelah Terpidana meninggal dunia.Terhadap putusan yang dijatuhkan dalam tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar kehadiran tergugat (verstek) dan tidak lagi ada upaya untuk mengajukan perlawanan, dalam hukum acara perdata Indonesia dapat dilakukan upaya Peninjauan Kembali atas permohonan pihak yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara yang telah di putus dan dimintakan peninjauan kembali.Contoh lainnya dari “bukti baru” yang sifatnya dapat benar-benar terbit setelah putusan Kasasi terbit, ialah wujud skenario sebagai berikut yang tidak jarang terjadi dalam praktik peradilan : Terbit putusan tingkat Kasasi perkara Perdata yang telah “menolak” gugatan, semata karena dalil adanya unsur “penipuan” dalam kontrak belum dibuktikan dengan adanya putusan pidana yang telah Hakim memeriksa surat yang diajukan kuasa hukum dalam persidangan permohonan peninjauan kembali yang diajukan narapidana kasus cessie Bank Bali, Joko Tjandra, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (20/7/2020). Joko Tjandra kembali tidak hadir dalam persidangan dengan alasan sakit.
Pencabutan permohonan peninjauan kembali harus segera dikirim oleh Panitera ke Mahkamah Agung disertai akta pencabutan yang ditandatangani oleh Panitera. Sumber: -Mengadaptasi dari Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 10-13.
Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, dapat memenuhi kepastian hukum tanpa mengabaikan nilai keadilan. MDMzZ.