MenurutIstilah sombong adalah sikap merasa lebih baik dibandingkan dengan orang lain atau memandang rendah orang lain dan tidak mau taat/tunduk kepada Allah SWT. Sifat sombong kurang lebih hampir sama dengan sifat ujub. Dimana sifat ujub berarti menganggap apa yang menjadi kelebihannya adalah hasil dari usahanya sendiri, dan sifat takabur
Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi rasa perdamaian. Bahkan bisa dikatakan bahwa islam adalah agama damai. Hal ini didukung oleh ayat-ayat al-ur’an yang dapat menjadi bukti islam agama damai. Salah satunya dijelaskan dalam QS Al Anfal 61 yang artinya berikut ini“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “ QS Al Anfal 61Ayat di atas dengan jelas menyatakan bahwa islam merupakan agama yang condong atau menjurus pada kedamaian. Oleh sebab itu, kita sebagai umat islam yang bertakwa sudah seharusnya hidup dalam kedamaian dengan tidak berusaha mencetus konflik dan memecah belah hubungan antar saudara-saudari kita yang ada di muka bumi itu, islam juga mengajarkan kita untuk senantiasa hidup dalam toleransi dengan menghargai hak-hak pribadi orang-orang yang ada di sekeliling kita. Tak hanya itu, islam juga melarang umatnya untuk mencampuri hal-hal yang tidak menjadi urusannya, terlebih perbuatan yang menyerempet kepada hak-hak pribadi maupun aib dari setiap manusia, salah satunya adalah tajassus atau mencari kesalahan orang mencari kesalahan orang lain dalam islam ini dilandasi oleh sumber pokok ajaran islam, yakni Alquran dan dari AlquranAllah Ta’ala berfirman,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” Al-Hujurat 12Larangan dari HadisRasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”[3]Selain itu, larangan untuk tajassus juga dijelaskan oleh perkataan ulama salaf sebagai berikutAmirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkata, ولا تظنَّنَّ بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلاَّ خيراً، وأنت تجد لها في الخير مَحملاً “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik.”[4]Dengan ketiga landasan yang telah disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa ber tajasssus atau mencari-cari kesalahan orang lain dalam islam termasuk perbuatan tercela dan tentunya tidak disenangi oleh Allah swt. Untuk itu sudah seharusnya kita sebagai umat muslim/muslimah yang bertakwa pada tuhan agar sekiranya mampu menerapkan cara memelihara akal dalam islam dengan tidak terjerumus ke dalam perbuatan tercela tidak disenangi oleh Allah swt, larangan mencari kesalahan orang lain dalam islam ini juga akan menimbulkan azab di hari kiamat sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis berikutDari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ ، صُبَّ فِى أُذُنِهِ الآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ“Barangsiapa menguping omongan orang lain, sedangkan mereka tidak suka kalau didengarkan selain mereka, maka pada telinganya akan dituangkan cairan tembaga pada hari kiamat.” HR. Bukhari no. 7042.Membayangkannya saja sudah sangat mengerikan bukan? Untuk itu hentikanlah tajassus dan segeralah bertaubat kepada Allah swt. agar kita bisa selamat di dunia dan juga di akhirat.
Kitamenilai cara berpakaian orang lain, menilai sikapnya, mengkritisi pilihan-pilihan hidupnya, dan yang paling parah menghakimi hidup orang lain. Duh, celaka! (Baca juga: Perang, Saat Manusia Mengambil Alih Peran Tuhan untuk Saling Menghakimi Sesamanya) Kadang-kadang kita menghakimi orang lain tanpa berpikir dengan jernih.
Sebagian orang terkadang lebih sering menilai seseorang dengan melihat luarnya saja. Padahal, apa yang dari luar belum tentu adalah keadaan aslinya. Menilai seseorang dari luar memang perlu, karena kesan pertama memang selalu dilihat dari tetapi, ada baiknya untuk Anda juga menilai seseorang lebih dalam lagi, seperti misalnya kepribadiannya dan tingkah lakunya. Ingatlah selalu bahwa sebelum Anda menilai orang lain, lihatlah diri Anda sendiri terlebih dahulu. Dalam pandangan islam, Allah mengetahui mana orang yang benar-benar berbuat baik dan mana yang hanya terlihat suci di hadapan banyak orang. Seperti apa yang yang telah disampaikan oleh Rasulullah Saw. yang bersabda bahwa,“Janganlah menganggap menyatakan diri kalian suci. Sesungguhnya, Allah lebih tahu mana orang-orang yang baik di antara kalian” HR. Muslim No. 2142Ketika menilai seseorang, terkadang jari dan mulut kita teramat lancar melakukannya, seakan-akan kita adalah makhluk paling baik di muka bumi. Sampai pada titik yang lebih parah, kita tidak memedulikan lagi apakah kata-kata yang diucapkan akan menyakiti hati dan berdampak buruk pada seseorang tersebut atau kita terlalu pandai menghakimi, memberikan komentar-komentar yang buruk padahal kita sendiri tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Maka dari itu janganlah terlalu cepat berkomentar yang tidak-tidak hanya dengan melihat seseorang dari luarnya saja. Karena yang kita tahu mungkin hanya secuil kebenaran yang karena itu, untuk menghindari kita dari sifat yang berburuk sangka dengan seseorang, berikut ini merupakan cara menilai seseorang yang baik menurut pandangan Menurut Quran Surah an-Najm ayat 32Allah SWT berfirman dalam al-Quran surah an-najm ayat 32 yang artinya,“…. Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah, lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.”Semua manusia pasti memiliki banyak dosa, maka janganlah sekali-kali Anda merasa paling segalanya dibandingkan orang lain apalagi sampai berkomentar yang buruk hanya dengan melihat sekilas kehidupannya. Ketahuilah bahwa meskipun Anda terlihat baik di hadapan banyak orang, Allah akan tetap mengetahui apa isi hati Anda yang Menurut Imam Bakr al-MuzaniMenurut Imam Bakr al-Muzani, ada dua cara agar Anda bisa menilai seseorang secara baik. Muhasabah atau introspeksi diriSebelum berkomentar buruk terhadap orang lain, ada baiknya untuk Anda introspeksi diri sendiri dulu. Hal ini bertujuan meraba-raba sekaligus untuk mengetahui bagaimana cara menilai diri sendiri yang harus dipelajari, serta mengingat bahwa sebenarnya Anda sendiripun bukanlah manusia yang amat baik dan masih memiliki banyak setelah Anda mengingat betapa banyaknya dosa Anda, yang bisa Anda lakukan adalah dengan banyak ber-istighfar sambil memohon pengampunan kepada Allah SWT. selain meminta pengampunan, Anda juga dapat berdoa supaya bisa menjadi pribadi yang lebih baik dengan tidak menilai seseorang hanya dari luarnya apa yang nampak belum tentu adalah kebenarannya. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya untuk Anda mengetahui bagaimana contoh metode introspeksi dalam psikologi agar membantu Anda dalam atau berbaik sangkaTidak ada salahnya untuk berbaik sangka terhadap siapapun selama hal tersebut tidak merugikan Anda. Karena berbaik sangka harus lebih Anda utamakan ketika hendak menilai seseorang, sekalipun orang tersebut adalah orang yang jahat. Lagipula, tidak ada salahnya berbaik sangka, karena apabila Anda sudah kepalang berburuk sangka, maka Anda hanya akan mendapat dosa dan ada baiknya harus apa yang telah dikatakan oleh Abu Bakr al-Muzani,“Prasangka buruk su’udzon terhadap manusia. Karena sesungguhnya, meskipun kalian benar, kalian tidak akan mendapatkan pahala, dan jika kalian salah, kalian mendapatkan dosa.” Imam Abu Na’im al-Ashbahani, Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiyah, Kairo Dar al-Hadits, 2009, juz 2. Hal. 1203. Menurut Imam al-QurthubiDalam Al-Mufhim limaa asykala min talkhish kitab Muslim Juz 6, hal. 539 Imam al-Qurthubi memaparkan bahwa hati itu yang memperbagus adalah amalan lahiriyahnya, dan amalan hati merupakan sesuatu yang ghaib bagi kita. Maka dari itu, janganlah menebak-nebak hati seseorang dengan mudah hanya dengan melihat dari luarnya saja mengenai kesalahan yang nampak. Sebab hanya Allah SWT lah yang lebih mengetahui dan menilai sifat hakiki manusia yaitu baik dan buruknya Menurut Abu Hurairah raDari Abu Hurairah ra. Berkata bahwa, Rasulullah SAW bersabda,“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk paras dan harta kalian. Akan tetapi, Allah melihat hati dan amalan kalian.” HR. Muslim No. 2564Dari hadist di atas dapat disimpulkan bahwa Allah SWT sang pencipta saja tidak menilai seseorang hanya dari keelokan wajahnya, warna kulitnya, ataupun pakaian paling baik yang dikenakan olehnya. Akan tetapi, Allah SWT melihat seseorang dari ketulusan hatinya, keelokan adabnya dan kelembutan tutur tidak hanya ditampakkan saat berada di keramaian saja, melainkan ditempat yang sepi dan tidak butuh validasi dari siapapun, orang tersebut akan tetap berprasangka dan berbuat baik terhadap Menurut Imam Abu QilabahImam Abu Qilabah merupakan murid dari Sayyidina Anas bin Malik ra. Beliau pernah mengatakan bahwa apabila sampai kepadamu suatu informasi mengenai perbuatan seseorang yang kamu benci, maka carilah alasan untuk tetap berbaik sangka terhadapnya dan carikan pula alasan yang baik untuk dirinya semampu yang kamu bisa.“Jika sampai kepadamu informasi mengenai perbuatan saudaramu yang kamu benci, carikanlah alasan yang husnudzon untuknya semampumu. Jika kamu tidak menemukannya, maka katakan pada dirimu sendiri, “Mungkin saudaraku mempunyai alasan yang tidak aku ketahui.” al-Hafidz Abu Nu’aim al-Asfahani, Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Asyfiya’, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988, juz 3. Hal. 285.6. Menurut Imam al-GhazaliDalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali mengajarkan kita bagaimana baiknya cara menilai kelebihan dan kekurangan orang lain dengan meninggalkan sikap ujub. Ujub merupakan suatu sifat dimana seseorang memandang dirinya sendiri dengan kemuliaan, kebesaran, lebih baik dari orang lain, dan memandang orang lain dengan penuh biasanya, orang yang ujub akan dengan mudah membanggakan dirinya dan menjelek-jelekkan orang lain tanpa peduli dan mengecek lebih dulu apakah perkatannya benar atau tidak. Mirip seperti perkataan iblis kepada Allah SWT ketika disuruh bersujud kepada Nabi Adam as.“Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” QS. Al-A’raf12Dari apa yang telah dijelaskan di atas, kesimpulan yang dapat di ambil adalah bahwa kita dianjurkan untuk selalu berbaik sangka terhadap orang lain, dan jangan terlalu cepat mengatakan keburukan-keburukan orang lain padahal kita tidak tahu kehidupannya selama 24 selalu bahwa Allah SWT mengetahui mana yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, serta yang tulus dan yang tidak. Don’t judge a book by its cover! Karena apa yang nampak dipermukaan, belum tentu kebenaran yang sebenarnya.
Kitajuga harus menginstropeksi diri sendiri.
Post Views 2,741 Ajaran Islam memberikan dampak yang sangat signifikan kepada setiap pemeluknya. Dampak tersebut mencakup hati akidah dan juga perbuatan amaliyah. Hati adalah tempat tertanamnya keimanan, keyakinan dan ketakwaan, sedangkan perbuatan adalah wujud dari ketaatan dan berserah dirinya hamba kepada Allah. Semua orang pasti dapat melihat dan menilai orang lain dari perbuatan lahiriahnya yang tampak, seperti perbuatan dan ucapan. Namun tidak ada satu pun manusia yang mampu melihat isi hati orang lain. Mengenai hal ini, Islam mengajarkan supaya kita cukup menilai seseorang dari amalan zahirnya saja. Kita bisa melihat seseorang itu baik atau buruk cukup dari perbuatan dan ucapannya. Namun untuk urusan hatinya, kita tidak akan pernah tahu. Hal yang paling fundamental dalam pembahasan kita kali ini adalah tentang keimanan dan keislaman. Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda jika disebutkan secara beriringan. Iman adalah amalan hati sedangkan Islam adalah ditunjukkan dengan perbuatan dan ucapan yang mencerminkan kepatuhan dan ketaatan kepada Allah. Maka, jika ada seseorang yang melakukan amalan-amalan syariat Islam shalat, puasa, dll, maka cukuplah bagi kita untuk menerimanya sebagai seorang muslim. Tidak perlu mempertanyakan apakah amalnya ikhlas atau tidak, sungguh-sungguh atau tidak, apakah imannya benar atau tidak, dan semisalnya. Itu semua di luar jangkauan pengetahuan kita, sehingga tidak perlu menyibukkan diri dengan urusan yang bukan hak kita. Kalau kita sudah melihatnya sebagai seorang muslim, maka kita diharamkan untuk membunuhnya, merampas hartanya maupun menzaliminya dalam bentuk apa pun. Dalam kitab Riyadhus Shalihin yang disusun oleh Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau menulis judul bab ke 49 yaitu باب إجراء أحكام الناس على الظاهر وسرائرهم إلى الله تعالى “Bab Menjalankan Hukum-hukum Terhadap Manusia Menurut Zahirnya, Sedangkan Hati Mereka Terserah Allah Ta’ala” Imam An-Nawawi rahimahullah mengawali bab tersebut dengan firman Allah berikut … فَإِن تَابُوۡا وَأَقَامُوۡا الصَّلٰوةَ وَءَاتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوۡا سَبِيۡلَهُمۡۚ إِنَّ اللّٰهَ غَفُوۡرٞ رَّحِيۡمٞ ٥ “… Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” QS. At-Taubah [9] 5. Dalam bab ini terdapat 6 hadits, namun kita akan mengambil 4 hadits saja sebagai pokok pembahasan kita. Hadits No. 390 Dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda أُمِرۡتُ أَنۡ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشۡهَدُوۡا أَنۡ لَا إِلٰهَ إِلَّا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رسولُ اللهِ ويُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤتُوا الزَّكاةَ، فَإِذَا فَعَلُوۡا ذَلِكَ عَصَمُوۡا مِنِّي دِمَاءَهُمۡ وَأَمۡوَالَـهُمۡ إِلَّا بِحَقِّ الۡإِسۡلَامِ، وَحِسَابُـهُمۡ عَلَى اللهِ تَعَالَى . “Aku diperintahkan untuk memerangi semua manusia, hingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat serta menunaikah zakat. Maka jika mereka telah melakukan yang demikian itu, terpeliharalah dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan haknya Islam, sedang hisab—perhitungan amal—mereka adalah terserah kepada Allah Ta’ala.” Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Hadits No. 391 Dari Abu Abdillah Thariq bin Usyaim radhiallahu anhu, ia berkata “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda مَنۡ قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدًا رَسُوۡلُ اللهِ وَكَفَرَ بِـمَا يُعۡبَدُ مِنۡ دُونِ اللهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسابُهُ عَلَى اللهِ تَعَالَى . “Barangsiapa yang mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah, dan ia mengingkari segala yang disembah diibadahi selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan hisab—perhitungan amalnya—terserah kepada Allah.” Shahih Muslim. Hadits No. 393 وعن أُسامةَ بنِ زَيۡدٍ ، رضي اللَّه عنهما قال بَعَثَنَا رسولُ الله ﷺ إِلَى الحُرَقَةِ مِنۡ جُهَيۡنَةَ ، فَصَبَّحۡنا الۡقَوۡمَ عَلى مِيَاهِهِمۡ، وَلحِقۡتُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنَ الۡأَنۡصَارِ رَجُلًا مِنهُمۡ فَلَمَّا غَشِيناهُ قال لَا إِلٰهِ إلَّا الله، فَكَفَّ عَنۡهُ الأَنۡصارِيُّ، وَطَعَنۡتُهُ بِرۡمِحِي حَتَّى قَتَلۡتُهُ ، فَلَمَّا قَدِمۡنَا الۡمَدينَةَ ، بلَغَ ذلِكَ النَّبِيَّ ﷺ ، فقال لِي يَا أُسَامَةُ أَقَتَلۡتَهُ بَعۡدَ مَا قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ ؟ قُلۡتُ يا رسولَ الله إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا ، فَقَالَ ” أَقَتَلۡتَهُ بَعۡدَ مَا قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ؟ فَما زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمنَّيۡتُ أَنِّي لَمۡ أَكُنۡ أَسۡلَمۡتُ قَبۡلَ ذلِكَ الۡيَوۡمِ. متفقٌ عليه. وفي روايةٍ فَقالَ رسولُ الله ﷺ أَقَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَقَتَلۡتَهُ ؟ قُلۡتُ يا رسولَ اللهِ ، إِنَّمَا قَالَـهَا خَوۡفًا مِنَ السِّلاحِ ، قال أَفَلَا شَقَقۡتَ عَنۡ قَلۡبِهِ حَتَّى تَعۡلَمَ أَقَالَهَا أَمۡ لَا؟ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى تَمَنَّيۡتُ أَنِّي أَسۡلَمۡتُ يَؤۡمئذٍ . Dari Usamah bin Zaid radhiallahu anhuma, ia berkata Rasulullah ﷺ mengirim kami ke daerah Huraqah dari suku Juhainah. Kami berpagi-pagi menduduki tempat air mereka. Saya dan teman saya yang dari kaum anshar bertemu dengan seorang laki-laki musuh dari kalangan mereka. Setelah kami mendekatinya, ia mengucapkan “Laa Ilaaha Illallah”. Orang dari kaum anshar menahan diri dan tidak membunuhnya, sedangkan aku langsung membunuhnya dengan tombakku. Setelah kami tiba di Madinah, peristiwa itu sampai ke Rasulullah ﷺ, lalu beliau bertanya kepadaku, “Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah?” Aku berkata, “Ya Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya mencari perlindungan diri karena takut mati”. Rasulullah ﷺ bertanya lagi, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah?” Pertanyaan itu terus diulang-ulang oleh Rasulullah sehingga aku membayangkan seandainya aku belum masuk Islam sebelum hari itu.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukankah ia telah mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, mengapa engkau membunuhnya?” Usamah menjawab, “Ya Rasulullah, ia mengucapkan itu hanya karena takut dengan senjataku.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Mengapa engkau tidak belah dadanya untuk melihat hatinya sehingga engkau bisa tahu apakah ia mengucapkannya karena takut mati atau tidak yakni karena ikhlas?” Beliau terus mengulang-ulang pertanyaan itu hingga aku mengharapkan bahwa aku masuk Islam mulai hari itu saja.” Muttafaqun alaih. Shahih Al-Bukhari 4269 dan Shahih Muslim 96. Hadits tersebut menceritakan tentang menyesalnya Usamah bin Zaid radhiallahu anhu yang telah membunuh seseorang yang telah mengucapkan “Laa Ilaaha Illallah”. Ia sampai dihujani pertanyaan oleh Rasulullah ﷺ yang berulang-ulang. Begitu menyesalnya Usamah sampai-sampai ia berharap dirinya belum masuk Islam ketika itu. Karena kalau seandainya ia baru masuk Islam di hari itu, maka ada jaminan dosanya akan diampuni oleh Allah Azza wa Jalla. Allahu A’lam. Hadits No. 395 وعن عبدِ الله بنِ عتبة بن مسعودٍ قال سمِعۡتُ عُمَر بۡنَ الخَطَّابِ رضي اللَّه عنه يقولُ إِنَّ نَاسًا كَانُوا يُؤۡخَذُونَ باِلۡوَحۡيِ في عَهۡدِ رسولِ اللهِ ﷺ ، وإِنَّ الوَحۡيَ قَدِ انۡقَطَعَ، وإِنَّمَا نَأۡخُذُكُمُ الآنَ بِما ظَهَرَ لَنَا مِنۡ أَعۡمَالِكُمۡ ، فَمَنۡ أَظۡهَرَ لَنا خَيۡرًا أَمَّنَّاهُ وقَرَّبۡنَاهُ وَلَيۡسَ لَنَا مِنۡ سَرِيرَتِهِ شَيۡءٌ ، اَللهُ يُحاسِبُهُ في سَرِيرَتِهِ ، وَمَنۡ أَظۡهَرَ لَنَا سُوۡءًا لَمۡ نأۡمَنۡهُ وَلَمۡ نُصَدِّقۡهُ وَإِنۡ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ . Dari Abdullah bin Utbah bin Mas’ud ia berkata “Aku mendengar Umar bin Khatthab radhiallahu anhu berkata “Sesungguhnya seluruh manusia dahulu ditetapkan dengan hukum sesuai dengan adanya wahyu, yakni di masa Rasulullah ﷺ. Dan sesungguhnya sekarang wahyu itu telah terputus. Dan sesungguhnya sekarang kami menuntut kalian semua atas dasar apa pun yang zahir terlihat dari segala amalan yang kalian lakukan. Barangsiapa yang menampakkan perbuatan baik kepada kami, maka kami berikan keamanan dan kami dekatkan kedudukannya kepada kami, sedangkan kami tidak mempersoalkan sedikit pun tentang hatinya. Allah-lah yang akan menghisab isi hatinya itu. Dan barangsiapa yang menampakkan perbuatan buruk kepada kami, maka kami tidak akan memberikan keamanan kepadanya dan tidak akan mempercayai ucapannya, sekalipun ia mengatakan bahwa niat hatinya adalah baik.” Shahih Al-Bukhari Itulah 4 hadits yang terdapat dalam kitab Riyadhus Shalihin Bab 49, yang menunjukkan bahwa kaum muslimin hanya cukup menilai seseorang dari segala yang terlihat, baik perbuatan maupun ucapan. Sedangkan urusan hatinya, biarlah Allah yang menghisabnya, karena memang hanya Allah yang mampu. Sebagai pelengkap, ada suatu riwayat ketika Rasulullah ﷺ menerima kiriman emas dari Ali bin Abi Thalib. Rasulullah ﷺ membagi emas tersebut kepada 4 orang Uyainah bin Hishn, Al-Aqra’ bin Habis, Zaid Al-Khail, sedangkan orang keempat yaitu antara Alqamah bin Ulatsah atau Amir bin Thufail. Kemudian ada salah seorang yang berkata كُنَّا نَحۡنُ أَحَقَّ بِـهَذَا مِنۡ هَؤُلَاءِ . “Sesungguhnya kami lebih berhak menerimanya daripada mereka!” Komentar itu pun didengar oleh Rasulullah, lalu beliau ﷺ pun bersabda أَلَا تَأۡمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنۡ فِي السَّمَاءِ، يَأۡتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً . “Apakah kalian tidak mempercayaiku sedangkan aku adalah manusia kepercayaan Dzat yang berada di langit? Dan aku juga menerima wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” Kemudian berdirilah seseorang yang matanya cekung, tulang pipinya cembung, dahinya menonjol, jenggotnya lebat, kepalanya gundul dan kain sarungnya disingsingkan, lalu ia berkata يَا رَسُولَ اللهِ، اِتَّقِ اللهَ ! “Ya Rasulullah, bertakwalah kepada Allah!” Rasulullah pun berkata وَيۡلَكَ! أَوَلَسۡتُ أَحَقَّ أَهۡلِ الۡأَرۡضِ أَنۡ يَتَّقِيَ اللهَ . “Celakalah kamu! Bukankah aku adalah penduduk bumi yang paling bertakwa kepada Allah?!” Orang itu pun pergi, dan Khalid bin Walid yang melihat kejadian itu berkata يَا رَسُولَ اللهِ، أَلَا أَضۡرِبُ عُنُقَهُ ؟ “Ya Rasulullah, bolehkah kupenggal lehernya?” Rasulullah ﷺ bersabda لَا، لَعَلَّهُ أَنۡ يَكُونَ يُصَلِّي . “Jangan. Barangkali ia masih mengerjakan shalat.” Khalid bin Walid berkata وَكَمۡ مِنۡ مُصَلٍّ يَقُولُ بِلِسَانِهِ مَا لَيۡسَ فِي قَلۡبِهِ . “Berapa banyak orang yang shalat namun ia mengucapkan dengan lisannya sesuatu yang tidak ada dalam hatinya.” Rasulullah ﷺ bersabda إِنِّي لَـمۡ أُومَرۡ أَنۡ أَنۡقُبَ عَنۡ قُلُوبِ النَّاسِ وَلَا أَشُقَّ بُطُونَـهُمۡ . “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk melihat isi hati manusia dan tidak pula isi perutnya.” Shahih Al-Bukhari 4351 dan Muslim 1064. _________________________ Saudaraku sekalian, manusia tidak akan pernah bisa melihat dan menilai isi hati orang lain. Maka, tidak sepantasnya kita menduga-duga isi hati orang lain. Tidak sepantasnya pula kita menganggap orang lain tidak beriman sementara mereka masih menerima kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah dan mereka masih shalat. Nabi Muhammad ﷺ sendiri menjadikan alasan tersebut sebagai dasar untuk menilai manusia berdasarkan perbuatan lahiriahnya, yaitu shalat. Rasulullah ﷺ tidak diperintahkan untuk mempersoalkan isi hati umatnya, dan sikap ini juga yang diikuti oleh sahabat yang mulia, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab radhiallahu anhu. Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita mengambil sikap yang sama dengan panutan kita, sosok figur yang sangat mulia ini, Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Allahu A’lam… * * *
tegasbagi orang orang yang memakan hak hak orang lain Islam telah menilai. Tegas bagi orang orang yang memakan hak hak orang. School Jenderal Soedirman University; Course Title ACCOUNTING MISC; Uploaded By BrigadierHeat9196. Pages 224 This preview shows page 134 - 136 out of 224 pages.
403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID BXWJvB7zYMGjQ2gUVMsQXpyBM_cPuooUe4Vlk93vGMRdftJIxKAgoA==
Berikutini sifat dan karakter negatif pisces. 1. Terlalu Percaya Kepada Orang Lain. Kebaikan yang diberikan oleh pisces tak perlu dipertanyakan lagi, bahkan saking baiknya ia juga dikenal dengan memiliki karakter yang penyayang. Namun, dibalik karakter yang baik ini, pisces menjadi sangat mudah untuk percaya kepada orang lain, pisces sangat
Sebagian besar orang selalu terjebak dalam ego untuk menilai orang lain. Pekerjaan untuk menilai diri sendiri biasanya kurang begitu memotivasi, tetapi saat diberikan tantangan untuk menilai orang lain, maka gairah dan motivasi akan bersatu padu dalam antusiasme untuk menemukan jati diri orang lain tersebut. Memang kita bukan tidak boleh menilai orang lain. Akan tetapi kita juga harus instropeksi diri sendiri. Disaat menilai orang lain tentunya kita hanya bisa menilai dari lahiriyahnya saja. Sebab menilai hati seseorang itu tidak ada kemampuan manusia. Masalah penilaian hati seperti ikhlas atau riyanya seseorang, itu merupakan kekuasaan Allah Swt. yang perlu kita ingat disaat menilai orang lain, jauhkanlah sifat buruk sangka. Sebab belum tentu buruk lahiriyah, buruk pula hatinya. Dalam hal ini Imam al-Ghazali, memberikan 5 tips bagaimana sebaiknya kita menilai orang lain. Supaya tidak jatuh kepada penilaian yang salah. Dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali berkata 1. Jika engkau melihat orang yang masih muda, maka katakan dalam hatimu, 'Orang ini belum banyak durhaka kepad Allah sedangkan aku sudah banyak durhaka pada Allah. Tidak diragukan lagi orang ini lebih baik dariku'. 2. Jika engkau melihat orang yang lebih tua, katakan dalam hatimu, 'Orang ini sudah beribadah sebelum aku, dengan begitu tidak diragukan lagi bahwa dia lebih baik dariku'. 3. Jika engkau melihat orang alim berilmu, katakan dalam hatimu, 'Orang ini sudah diberi kelebihan yang tidak diberikan kepadaku. Dia menyampaikan suatu kebaikan kepada orang lain sedangkan aku tidak menyampaikan apa-apa. Dia tahu hukum-hukum yang tidak aku tahu. Maka bagaimana mungkin aku sama dengannya?' 4. Jika engkau bertemu dengan orang bodoh, kurang ilmu dan wawasan, katakan dalam hatimu, 'Orang ini sudah durhaka kepada Allah karena ketidaktahuannya sedangkan aku durhaka kepada Allah dengan pengetahuanku, maka vonis Allah kepadaku lebih berat dibanding orang ini. Dan aku tidak tau bagaimana akhir hidupku dan akhir hidup orang ini'. 5. Jika engkau melihat orang kafir, maka katakan dalam hatimu, 'Aku tidak tahu, bisa jadi dia akan masuk Islam dan mengisi akhir hidupnya dangan amal kebaikan, dan dengan keislamannya itu dosa dosanya keluar dari dirinya seperti keluarnya rambut darr timbunan tepung. Sedangkan aku, bisa jadi tersesat dari Allah karena tidak mau meningkatkan iman dan akhirnya menjadi kafir, dan hidupku berakhir dengan amal buruk. Orang seperti ini bisa jadi besok menjadi orang yang dekat dengan Allah dan aku menjadi orang yang jauh dari Allah'. Demikianlah sahabat bacaan madani 5 tips menilai orang lain menurut imam Al-Ghazali. Dari 5 tips tadi bisa kita simpulkan bahwa kita dilarang berburuk sangka. Kita di anjurkan untuk berbaik sangka kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam Al-Quran, “Maka janganlah engkau menilai dirimu lebih suci dibanding orang lain. Dia Allah lebih tahu siapa orang-orang yang bertakwa.” QS. an-Najm 32
Jelas Tapi lihat bagaimana ketika beliau menilai orang ini sebagai munafik. Ternyata beliau salah. Ternyata penilaian beliau tidak tepat. Oleh karenanya, semulia apapun, sesaleh apapun orang, dia bisa salah dalam menilai orang lain. Apalagi kalau dipengaruhi oleh keadaan, situasi, yang menjadikan orang tersebut tidak netral dalam menilai orang
ORANG yang selalu melihat kebaikan pada diri orang lain maka kebaikan akan datang pada dirinya. Tetapi orang yang selalu melihat keburukan pada diri orang lain, maka keburukanlah yang akan datang pada dirinya sendiri. BACA JUGA Tentang Apa yang Orang Lain Katakan Anda tak mau dinilai buruk oleh orang lain? Maka, jangan bicara buruk tentang orang lain. Karena ternyata, menurut hasil penelitian terkini, penilaian Anda terhaadap orang lain bisa dihubungkan dengan kepribadian Anda sendiri, meski Anda tidak menyadarinya, bahkan hal-hal yang tak Anda sadari, atau petunjuk yang mengartikan bahwa Anda sebenarnya orang yang manis atau kejam. Dustin Wood, PhD, dari Wake Foret University mengatakan kepada WebMD bahwa persepsi kita terhadap orang lain akan menceritakan siapa diri kita sebenarnya. Contoh, kala kita memandang positif terhadap orang lain menunjukkan sisi positif pada diri kita. Namun, studi yang dipublikasikan pada Journal of Personality and Social Psychology ini juga mengatakan bahwa kata-kata kita juga bisa menguak persepsi negatif di diri kita, seperti narsisme, antisosial, bahkan kelainan jiwa jika kita berucap buruk tentang orang lain. Studi ini melibatkan anak-anak mahasiswa yang diminta untuk meratifikasi karakteristik positif dan negatif dari rekan-rekan mahasiswanya. Para peneliti menemukan bahwa seseorang yang memiliki kecenderungan untuk mendeskripsikan orang lain dengan kata-kata yang positif mengindikasikan bahwa dirinya memiliki sifat positif. Studi ini menemukan adanya ikatan yang kuat antara penilaian positif seseorang terhadap besarnya antusiasme, kebahagiaan, kebaikan hati, dan stabilnya emosional orang itu sendiri. Konon, tingkat kepuasan akan hidup seseorang juga bisa terlihat dari cara ia menilai orang lain. Makin positif, makin puas ia akan hidupnya, dan sebaliknya. Sementara persepsi negatif terhadap orang lain bisa dihubungkan kepada tingginya level narsisme dan sikap antisosial seseorang. “Sifat kepribadian yang negatif diasosiasikan dengan cara orang tersebut menilai negatif orang lain,” jelas Wood. Sikap negatif ini juga erat hubungannya dengan depresi dan kelainan kepribadian yang beragam. Persepsi yang negatif yang berlebihan tentang orang lain bisa menunjukkan bahwa orang tersebut punya sifat keras kepala, tak bahagia, neurotik, atau memiliki kepribadian yang negatif. BACA JUGA Tidak Cukup Jadi Orang Baik, Jadilah Penyeru Kebaikan Penelitian ini dilakukan kembali setahun kemudian dan para peneliti menemukan bukti, “Bahwa seberapa positif kita melihat orang lain dalam lingkup sosial kita adalah hal yang stabil dan tidak berubah secara substansial oleh waktu,” terang Wood. Laporan ini mengatakan bahwa bagaimana seseorang menilai atau melihat orang lain ternyata lebih dari sekadar “proyeksi dari imaji dirinya sendiri pada orang lain.” Mari selalu melihat kebaikan kepada siapapun, kapanpun dan di manapun. []
Berorientasikeluar (ekstrovert); bersifat respek, empati terhadap orang lain, memiliki kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban
Ada kisah inspiratif dituturkan oleh Imam Ibn Qutaibah al-Dinawari w. 889 dalam kitabnya yang masyhur, Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Suatu hari, ada serombongan orang dari Yaman yang datang, “sowan” kepada Kanjeng Nabi di Madinah. Mereka adalah “al-Asy’ariyyun”, orang-orang yang berasal dari kabilah Banu Asy’ar. Setelah mereka menghadap Kanjeng Nabi, terjadi percakapan tentang pelbagai hal. Hingga pada suatu titik, salah satu dari para tamu itu berkomentar tentang salah satu dari anggota rombongan mereka. “Wahai Rasul, tak ada orang setelah panjenengan yang lebih baik dan lebih keren’ dari si fulan teman kami ini,” kata salah satu dari rombongan itu. Dalam riwayat yang dituturkan oleh Ibn Qutaibah, tak disebutkan dengan jelas siapa nama fulan itu. Lalu orang itu melanjutkan Di siang hari, selama perjalanan kami dari Yaman ke Madinah ini, teman kami ini selalu puasa. Sementara, jika kami berhenti sebentar di sebuah tempat untuk istirahat, dia akan menjalankan shalat terus-menerus sampai kami berangkat lagi,” tambahnya. Demi mendengar ini, Nabi langsung bertanya “Terus siapa yang bekerja untuk dia, mencukupi kebutuhan dia, atau melayani dia sehari-hari?” “Kami semua lah yang melayani dia, Kanjeng Nabi,” jawab mereka. “Kalau begitu, kalian lebih mulia dari dia,” kata Kanjeng Nabi. Dalam pandangan Islam, melayani orang lain, bekerja untuk memakmurkan dunia, nilainya tak kalah, atau malah melebihi shalat dan puasa sunah yang dilakukan setiap hari dan setiap saat. “Kisah dari Yaman ini perlu terus kita ingat agar kita tak keliru menilai orang shaleh.
nfSGwaE. 1jie28yn7i.pages.dev/61jie28yn7i.pages.dev/3971jie28yn7i.pages.dev/2941jie28yn7i.pages.dev/2741jie28yn7i.pages.dev/1441jie28yn7i.pages.dev/871jie28yn7i.pages.dev/2081jie28yn7i.pages.dev/231jie28yn7i.pages.dev/234
menilai orang lain menurut islam